the raid

film The Raid ini ditayangkan secara serentak di bioskop-bioskop Indonesia mulai hari Jum’at tanggal 23 Maret, 2012,pada pemutaran hari pertama, The Raid sudah ditonton 57 ribu orang. Mengecek ke situs Filmindonesia.or.id di hari pertama The Raid langsung melampaui film-film yang sudah tayang duluan seperti Love is Brondong (29.093 penonton), Mata Tertutup (2.624 penonton), Sampai Ujung Dunia (38.628 penonton), Keumala (13.391 penonton), dan diprediksi segera melampaui Santet Kuntilanak (92.360 penonto), bahkan mungkin bisa melewati rekor box office tahun ini yang dipegang Negeri 5 Menara dengan jumlah penonton 629.425 per 24 Maret ini.

The Raid menggabungkan dua ketegori adegan kekerasan di film. Adegan laganya jelas distilisasi (baca: dibuat bergaya) berdasar gerakan beladiri pencak silat. The  Raid memasukkan unsur koreografi silat yang rumit dan bergaya. Namun, di saat besamaan, sutradaranya, Gareth Evans, asal Welsh, Inggris,menampilkannya serealis mungkin.

Setiap momen pertarungan tampak ditata secara khusus agar tak terasa terjadi pengulangan. Baku pukul, baku tendang, sayatan pisau, parang, maupun salakan pistol dan senapan terasa beda di setiap adegan laga.

Yang lebih istimewa pada The Raid, dan membuatnya  mendapat julukan ultra-violent movie, adalah gambaran vulgar atas kekerasan. Semua adegan kekerasaan tersaji di layar. Sineasnya tidak menyisakan pada penonton untuk berimajinasi membayangkan adegan yang tersisa. Ini tidak lazim.
Yang lazim, demi menghindari kekerasan yang frontal di layar, sineas mengambil siasat tak menampilkan semua di layar. Biasanya, sisi korban tak ditampilkan di layar (off-screen). Tindak kekerasan muncul dari sisi pelaku saja. Gambaran pada sisi korban terjadi dalam bayangan penonton.